Bekerja: dilema perempuan kekinian


Hari Rabu kemarin (18 April 2012), saya berkesempatan menghadiri seminar yang diselenggarakan Ikatan Alumni ITS bekerja sama dengan SPIRITS (Semangat Perempuan Insinyur ITS).  Seminarnya berjudul “Woman Leadership & Entrepreneurship Integrated Seminar”. Sebagai pembicara tamu antara lain Bapak Muhammad Nuh (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) dan Ibu Linda Gumelar (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Narasumbernya ada Ibu Dewi Motik (Ketua Kowani), GKR Hemas (Ketua DPD), Ibu Susi (pemilik Susi Air) dan Ibu Risma (Walikota Surabaya).

Paparan BU Linda cukup membuat pencerahan bagi saya. Perempuan di Indonesia kini sebetulnya telah mencapai tingkat pendidikan yang sama tingginya dengan kaum lelaki, namun ketika mencapai bidang pekerjaan akses terhadap perempuan masih terbatas. Pernyataan ini SANGAT ada benarnya. Saya sendiri menengarai ada dua penyebab mengapa perempuan yang berpendidikan tinggi tidak dapat mengakses lingkup pekerjaan seperti kaum lelaki. Pertama, terdapat persoalan internal seperti ijin dari suami atau keluarga yang kemudian mengurungkan rencana perempuan untuk ikut mengukir jejak karir. Kedua, masalah eksternal yang justru datang dari para head hunter yang mematok syarat yang cukup memberatkan perempuan, seperti status pernikahan atau usia maksimal.

Tidak boleh bekerja
Perempuan yang sudah menikah memang sudah semestinya (saya menghindari kata “seharusnya”) menghormati keputusan suami. Termasuk ketika suami melarang istrinya kembali bekerja setelah statusnya berubah menjadi: menikah. Meski sang istri juga telah menempuh perjalanan studi yang sama panjangnya dengan suami. Awalnya saya sulit sekali menerima cara berpikir seperti itu. Bayangkan ya, lelaki yang memilih seorang perempuan menjadi istrinya itu tadinya kagum karena si perempuan cantik dan pintar. Namun setelah menikah, perempuan pintar itu tidak boleh bekerja. Tapi yah, saya sendiri masih mencoba memahami jalan yang ditempuh oleh beberapa teman perempuan saya itu.

Mungkin sinis, ya. Tapi ya itu. Sungguh, saya masih sulit menerima pola pikir tadi. Ibu saya (beliau guru SD), telah mendoktrin saya dengan pola pikir ini: karena kamu sudah bisa mencapai jenjang sarjana, kamu harus bekerja. Apapun yang terjadi kamu harus bekerja. Dan saya resmi telah diracuni, ha-ha! Saya menaggap beliau benar karena saya setuju dengan ibu saya. Beliau mengatakan itu bukan tanpa pretensi. Banyak hal yang disampaikan pada saya beserta contoh-contoh nyata di sekeliling kami. Yang paling baru, seorang kerabat yang sering berbagi cerita pada saya, setelah beberapa tahun ditinggal suaminya bercerita pada saya betapa ia menyesal telah dilarang bekerja. Karena ia hanya di rumah saja, ia tidak bisa berbuat apa-apa saat tahu suaminya punya “teman dekat”—and it still happened for years. Sebab ia lemah secara ekonomi, maka pertimbangan untuk pergi dengan anak-anaknya tidak pernah dilakukannya.
Apa yang menimpanya memang tidak perlu digeneralisir. Tapi bagi saya semoga itu menjadi motivasi bagi banyak istri dan suami agar mendukung sang istri 100% untuk bekerja. Sebab sebetulnya dengan bekerja, suami terbantukan secara finansial kok. Menurut Ibu Dewi Motik, perempuan harus bisa membuat suami percaya bahwa dirinya BISA. Bahwa teman paling penting adalah teman tidur. Ha-ha!  

Kesempatan yang dipersempit
Pengalaman saya adalah contoh riil di mana para head hunter sepertinya masih agak bias terhadap perempuan. Coba lihat di iklan lowongan kerja itu. Dibutuhkan: perempuan, single, usia maksimal 25 tahun. Padahal itu untuk posisi staf administrasi. Saya yakin, ada beberapa posisi yang memang membutuhkan jam kerja yang panjang dan hampir selalu over time setiap hari. Misalnya untuk posisi director pada sebuah perusahaan research marketing. Saya sendiri percaya bahwa kualitas perempuan tidak dapat diukur HANYA dari status pernikahan yang tertera di KTP saja. Saya banyak melihat para ibu urban yang bekerja keras melebihi suaminya. Dan keluarga mereka baik-baik saja. Saya pun pernah kenal beberapa ibu yang kinerjanya tidak oke. Yang single pun  banyak. Jadi, mematok status single sebagai ukuran seorang perempuan bisa bekerja over time, jelas sebuah bias gender.

Belum lagi ukuran lain seperti “berpenampilan menarik, well groomed” yang seolah-olah para pelamar perempuan harus cantik atau menarik untuk mendapatkan posisi tertentu. Meski tidak semua lowongan kerja mencantumkan syarat itu, tetapi untuk bisa “cantik dan menarik” sesuai maunya head hunter itu butuh modal lho. Jadi, betapa perempuan harus membayar dirinya sendiri untuk mencari uang. Aneh ya? But that’s the fact.

Women leadership and entrepreneurship: sebuah jalan lain
Sepertinya, kemunculan para perempuan yang mengisi posisi kepemimpinan serta kewirausahaan menjadi salah satu jawaban atas peluang-peluang yang mungkin diraih bagi para istri yang mendedikasikan diri untuk beraktualisasi diri di rumah. Waktu yang masih banyak tersisa, dapat mereka gunakan untuk mengelola bisnis atau ikut dalam sebuah organisasi. Passion yang mereka miliki waktu kuliah dulu akan menghidupi semangat berorganisasi atau berwirausaha.

Bingung ya, kalau sudah berpayah-payah supaya bisa menyelesaikan kuliah tapi akhirnya pujaan hati (ciyeeee…) tidak mengizinkan untuk bekerja. Sayaaaangg rasanya dan perih jika melihat teman-teman yang lain bahkan sudah mengambil studi master di luar negeri atau melihat ijazah bertengger manis di map berhias logo almamater tercinta. Sebenarnya ada banyak pilihan untuk tetap beraktualisasi diri dari rumah kok. Namun yang paling pokok adalah: kita harus dialog dengan suami agar dapat kesempatan beraktualisasi diri sembari tetap on duty as a home maker (bukan housewife lagi yaa). Selain komitmen istri agar tetap melakukan semuanya properly, seharusnya suami juga dapat memposisikan diri dan mempercayakan sang istri. Percayalah honey, we are known as  multitask creature ever![]

Comments

  1. hi bunda anggie, mampir nih.
    wah, masak salah satu highlight seminar itu berbunyi: "Perempuan yang sudah menikah memang sudah semestinya (saya menghindari kata “seharusnya”) menghormati keputusan suami." kedengarannya nggak support perempuan gitu ya. mestinya keputusan dlm RT bukan cuma keputusan suami. bekerja atau tidak menurutku musti diputuskan berdasarkan apa yang diinginkan istri, lalu dibicarakan bagaimana ini dan itunya. istilahnya kompromi. soalnya kalau bunyinya "keputusan suami", istri ga punya hak suara dan menyatakan keinginannya. hihi banyak sekali komenku ...

    ReplyDelete
  2. Mbak Isma: iya mbak... beberapa temanku mengalaminya. Mereka menikah ketika studi belum selesai dan berusaha untuk menyelesaikannya ditengah perannya sebagai ibu dan isteri (juga statusnya sebagai mahasiswi), namun ketika sudah selesai, ya akhirnya ijazah tidak digunakan untuk melamar kerja. Waktu saya tanya mereka, jawabannya: tidak boleh kerja sama suami. Harus diakui, masih banyak perempuan dengan kondisi ini. Saya sendiri juga tidak mengerti apakah mereka yang akhirnya di rumah saja, menerima keputusan itu dengan lapang atau ada sedikit harapan suaminya berubah pikiran. (Beberapa teman saya masih berharap sembari menyadari bahwa sebetulnya mereka menghadapi harapan yang kosong.) Tapi seharusnya para suami juga mengerti, waktu yang dimiliki para perempuan untuk mencari kerja dengan status menikah itu tidaklah banyak. Menginjak usia 25, teman-teman saya itu bakal kehilangan banyak kesempatan untuk bekerja.

    Mbak Isma salah satu yang beruntung, bisa meraih banyak hal dan disupport suami tercinta hehehehe ^___^

    ReplyDelete
  3. Mbak... Akhirnya aku mampir lagi disini ^ ^ beruntung bisa jadi teman blog mbak deh.. isinya keren bgt.. Oiya tuh.. Krem malamnya sama mbak,, aku jg pake aquarhym yg dari oriflame.. Emang bnr.. Pas bangun tdr kulit jadi enak bgt dipegang hehe... Makasih ya mbak udah approve aku :)

    ReplyDelete

Post a Comment